Zaman dulu (Orba),
diskusi-diskusi sering dilakukan, namun diskusi tersebut tidaklah seterbuka
sekarang, bahkan sangat tertutup. Kegiatan diskusi pada zaman dulu merupakan
kegiatan yang terlarang, yang dilakukan sembunyi-sembunyi oleh kalangan aktivis
kampus, petani dan juga buruh. Sebenarnya diskusinya tidak terlarang, namun isi
dari diskusi tersebutlah yang membuat pemerintah berang. Para aktivis tersebut
mendiskusikan terkait hal-hal yang akan mengganggu jalannya kekuasaan
pemerintahan. Betapa tidak, karya-karya sastra yang dianggap tidak pro pada
pemerintah akan dimusnahkan. Dan siapa yang kedapatan mendiskusikan karya
tersebut maka akan ditangkap dan dianiaya. Aku mempersilakan untuk kalian
berkhayal terkait “dianiaya”. Haha.
Kita tahu, diskusi pada
era sekarang sangatlah enak. Kenapa saya katakana enak, karena kau
tidak perlu sembunyi-sembunyi dan mencari tempat yang paling jauh dari endusan
aparat untuk melakukan diskusi. Bahkan kau tak perlu merasa was-was akan adanya
mata-mata. Kau bisa melakukannya di mana saja. Tentu saja tempat yang paling utama
dan menarik adalah kafe. Saat diskusi pun kau tidak perlu meresa cemas bahwa
diskusi yang tengah kau ikuti akan dicyduk oleh aparat negara. Sekarang, diera
demokrasi ini, kau bebas untuk melakukan diskusi apapun tanpa perlu merasa
takut akan dicyduk oleh aparat. Bahkan kau bebas menyebarluaskan informasi
terkait diskusi tersebut seluas-luasnya seperti diskusi yang baru saja aku
ikuti kemarin (11 Februari 2019).
Sesungguhnya, bertemu
dengan Kak Okky Madasari merupakan suatu kesempatan yang luar biasa. Karena pasalnya
beliau merupakan penulis sastra yang tendensius yang pertama berkunjung ke Jambi.
Ekspektasi tentunya sangat tinggi pada diskusi ini. Begitu juga bagi
teman-teman yang menyempatkan waktu untuk datang pada diskusi kemarin, mereka
juga sudah berekspektasi tinggi. Bisa kukatakan jauh panggang dari api, diskusi
tidak berjalan dengan baik dan teman-teman banyak yang kecewa. Kesempatan itu
tidak dimanfaatkan dengan optimal. Ya, maksudku, tentu saja mereka bisa
bercengkerama dengan beliau – foto bersama, tanda tangan buku, atau diskusi
singkat ketika acara telah usai – namun, ada harapan lebih dalam diskusi ini,
harapan kepada moderator yang harusnya bahkan mestinya paham akan Okky
Madasari sehingga diskusi bisa berjalan dengan baik. Seorang moderator mestinya adalah dia yang mengerti akan seluk beluk narasumbernya. Najwa Shihab, ia tidak akan menerima narasumber jika ia tidak memahami dengan baik bagaimana si narasumbernya. Sah-sah saja, kan, aku membandingkan dengan Najwa Shihab. Wkwk.
Lalu siapa dalang sesungguhnya?
Lalu siapa dalang sesungguhnya?
Namun begitu, terlepas dari hal-hak tersebut, Kak Okky
tetap menyalurkan energinya yang luar biasa kepada para hadirin yang datang. Kau
tahu, penulis selalu mempunyai ideologi dan tendensinya masing-masing yang akan
memikat siapapun yang terpikat.
Ahaha. Salam Literasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar