https://pin.it/sxad45t3pbrbas |
Asap
mengepul dari dua buah cangkir yang berada diatas meja. Yang satu berisi teh
hijau punyamu dan satunya lagi punyaku,
berisikan coklat hangat. Waktu itu gerombolan air tampak membanting dirinya ke kaca yang sedang ku amati. Perlahan namun
pasti. Dan kau tengah asik dengan buku sastra yang kau baca.
Aku
memulai pembicaraan, “kau menyukai hujan?”
“dibilang
suka sih enggak, dibilang enggak suka juga enggak. Lebih tepatnya biasa aja
sih.”
“aku
begitu menyukai hujan. Kau tahu kenapa?” aku memberitahu tanpa kau minta.
“kenapa?”
tanyamu sambil menyingkap halaman buku yang tengah kau baca.
“dia
jatuh berkali-kali ke tanah, terhempas. Namun, dia tak pernah ragu untuk datang
lagi. karena apa? Karena dia begitu mencintai bumi.”
“kenap
bisa gitu”
“itu
bentuk rasa sayang Hujan kepada Buminya. Dia tahu, kalau dia tidak datang, bumi
akan bersedih.” Aku masih memandangi kaca yang semakin buram diterpa hujan
“Tidak
sedikit juga yang memaki kedatangannya.” Jawabmu tak peduli
“mereka
bukan memaki. Hanya, mereka tak tahu bagaimana caranya mengatakannya dengan
baik.”
“jika
hujan telalu sering dtang mengunjungi bumi, maka bumi akan tenggelam.” Kau
mulai berhenti membaca da memperhatikanku.
“Namun
disatu sisi, penduduk bumi banyak yang tidak menyadarinya.”
Aku melanjutkan narasiku tentang hujan dan seperti
biasa kau akan memperhatikanku lamat-lamat. Sesekali kau meminum tehmu kemudian
mengalihkan pandangan ke luar kaca.
Dari
lantai dua kafe ini, aku dapat melihat orang-orang berlarian menepi untuk
berteduh.
“Lihat
yang diakukan orang-orang itu. Mereka sepertinya tidak menyukai keberadaan
hujan.” Kau mulai
beralih dari bukumu dan memperhatikan sesuatu yang berada diluar kafe itu.
“Mungkin
mereka ada kegiatan yang harus ditunaikan namun karena hujan kegitan itu menjadi
tertunda dan mengakibatkan bajunya basah.”
Aku
lantas berdiri dan menggapai tanganmu, menarikmu hinga rooftop. Kau terlihat
kesal karena mendadak kubawa ke atap.
Kafe
ini memiliki tiga lantai, dan di lantai atasnya tidak memiliki atap. Hanya ada beberapa
payung-payung kecil – yang bisa dibuka tutup sesuai keinginan, tempat berteduh. Sengaja didisain seperti itu agar
kalau malam para pengunjung dapat menikmati langit yang bertabur bintang atau hanya sekadar memandang
bulan yang ditutupi awan hitam. Angkasa begitu indah ketika malam hari. Aku
sangat mengenali tempat ini.
“Pejamkan
matamu, nikmatilah sentuhan hujan ini. Kau akan merasakan sesuatu yang berbeda
saat dia menerpa kulitmu”
“ihh,
kamu apaan sih ki. Ayo turun”
“Ayolah
Dimas. Kau harus merasakan sensasi dikala hujan turun, ketika ia menyentuhmu,
bercumbu dengan kulitmu, menyeSap masuk hingga bagiian terdalam tubuhmu.”
“aku
gabisa Kiyara. Ayolah.” Suaramu mulai terdengar bergetar. Dan bibirmu perlahan
membiru.
“Sebentar
lagi ya mas, plis. Aku mau menikmati hujan ini bersamamu, beberapa menit saja.”
Dimas
terlihat ingin marah kepadaku, namun melihat aku yang begitu senang, di
kejauhan hanya memperhatikan. Tiba-tiba angin kencang mulai menerbangkan
payung-payung yang ada. Kursi dan meja pun hampir terbang terbawa angin.
“Ki, ayolah. Kita turun, ya.” Ekspresinya mulai
berubah. Ia tampak cemas.
Aku dan Dimas pertama kali bertemu di kampus. Kami
satu kampus. Dia berada di Fakultas Teknik dan aku sendiri berada di Fakultas
Bahasa dan Sastra. Ketika aku tengah disibukkan dengan berkas-berkas yang akan
kuserahkan ke Bidang Kemahasiswaan.
Aku membawa setumpuk proposal yang telah selesai kuajukan
sedangkan Dimas membawa sebuah map berwarna merah sepertinya sebuah surat.
Berkas-berkas itu telah selesai kuurus dan aku
berencana ingin membawanya kembali, namun naas kakiku tersandung dan berkasku
berseliweran tak karuan. Dia yang melintas didepanku dengan sigap langsung
membantu.
Koridor ruangan itu cukup lengang, hanya beberapa orang
saja yang terkadang lewat.
“Eh, maapin yak. Hehe. Tadi itu buru-buru.”
“Lah, kok malah minta maaf?” raut mukanya memberi
kesan ramah dengan kulit putih dan mata sipitnya.
“Hm. Mau kemana?” Aku memperhatikan map yang ia bawa.
Di kampusku, ada aturan tersendiri setiap ingin
menyampaikan surat pada birokrasi. Entah permohonan dana, peminjaman tempat
atau bahkan surat permohonan cuti. Dan map yang dibawa Dimas tidak terlihat seperti
map permohonan dana apa lagi peminjaman tempat. Map itu lebih terlihat seperti
map untuk surat permohonan cuti kuliah.
“Oh, ini. Mau ngasih ke pak Weli.”
“Eh, mau cuti ya?”
“kamu baca buku sastra?”
Entah dari mana buku Anak Semua Bangsa karya Pram itu
terselip ke dalam berkas-berkasku.
“Oh, buku ini. Iya. Tugas dari dosen. Berat banget.
Wkwk”
“enggak kok. Bukunya cukup mudah dipahami.”
“Eh, iya?”
Berawal dari pertemuan
itu kami jadi lebih sering berkomunikasi dan bertemu.
Kami buru-buru turun. Dimas menarik tanganku. Hujan
waktu itu sangat deras sekali disertai dengan angin.
“Kia, ayo cepat. Kita turun. Hujannya udah ga baik
lagi ini.”
Tanganku terasa sakit sekali. Dimas menariknya dengan
kuat.
Hujan dan angin itu semakin ganas saja ketika kami
turun melewati tangga. Mereka lebih tepat disebut dengan badai. Perpaduan yang
epic. Menghancurkan segalanya.
Dimas tiba-tiba berhenti ketika kami tiba di anak tangga
ketiga. Dia melepaskan tangannya dari tanganku dan terjatuh hingga lantai dua.
Aku sontak berteriak melihat dimas yang oleng dan segera berlari menujunya.
Dimas tidak terlalu menyukai hujan, namun ketika ku
ajak keluar sebelum hujan ia tak menolak. Beberapa kali kami pergi keluar
ketika hujan tak lain untuk menyenangkanku.
Sekarang aku tak lagi menyukai hujan. Aku teramat
membenci hujan. Aku selalu teringat akan apa-apa saja yang pernah kita lakukan
saat hujan. Perbincangan dikafe, pergi menemanimu membaca buku diperpustakaan
yang tak seberapa jauh dari kamus kita. Berteduh di mini market sambil
menyantap mi instan. Kau hanya membeli teh, aku menyeduh mie dan membeli air
mineral.
Kini enam tahun telah berlalu semenjak kepergiannya
waktu itu. Ketika kami tengah mengelak dari badai. Ah, badai itu tak dapat
dielakkan. Ia membawamu pergi dan meninggalkanku sendiri.
Aku melanjutkan kembali kehidupanku seperti biasa.
Melakukan hal-hal yang biasa kulakukan. Namun ada yang aneh ketika aku
melakukan hal-hal yang ada kaitannya denganmu. Kau terasa seperti berada di
dekatku.
Aku sudah bekerja sekarang, sebagai editor buku di
satu perusahaan percetakan. Aku juga membangun sebuah perpustakaan. Seperti
keinginan Dimas dulu.
Ketika senggang dan tidak disibukkan dengan kata demi
kata yan harus diperhatikan, aku akan mampir dan melihat-lihat. Terkadang
membaca beberapa buku.
Perpustakaan ini sempurna seperti yang dimas inginkan.
Dengan disain klasik dengan beberapa interiornya.
Dimas, aku bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar