LELAKI YANG DIAM - Lemonade

Latest

Lemonade

Lemonade Pecandu buku(kamu)

Selasa, 11 Desember 2018

LELAKI YANG DIAM

https://pin.it/sxad45t3pbrbas

Asap mengepul dari dua buah cangkir yang berada diatas meja. Yang satu berisi teh hijau punyamu dan satunya lagi punyaku, berisikan coklat hangat. Waktu itu gerombolan air tampak membanting dirinya ke kaca yang sedang ku amati. Perlahan namun pasti. Dan kau tengah asik dengan buku sastra yang kau baca.
Aku memulai pembicaraan, “kau menyukai hujan?”
“dibilang suka sih enggak, dibilang enggak suka juga enggak. Lebih tepatnya biasa aja sih.”
“aku begitu menyukai hujan. Kau tahu kenapa?” aku memberitahu tanpa kau minta.
“kenapa?” tanyamu sambil menyingkap halaman buku yang tengah kau baca.
“dia jatuh berkali-kali ke tanah, terhempas. Namun, dia tak pernah ragu untuk datang lagi. karena apa? Karena dia begitu mencintai bumi.”
“kenap bisa gitu”
“itu bentuk rasa sayang Hujan kepada Buminya. Dia tahu, kalau dia tidak datang, bumi akan bersedih.” Aku masih memandangi kaca yang semakin buram diterpa hujan
“Tidak sedikit juga yang memaki kedatangannya.” Jawabmu tak peduli
“mereka bukan memaki. Hanya, mereka tak tahu bagaimana caranya mengatakannya dengan baik.”
“jika hujan telalu sering dtang mengunjungi bumi, maka bumi akan tenggelam.” Kau mulai berhenti membaca da memperhatikanku.
Namun disatu sisi, penduduk bumi banyak yang tidak menyadarinya.
Aku melanjutkan narasiku tentang hujan dan seperti biasa kau akan memperhatikanku lamat-lamat. Sesekali kau meminum tehmu kemudian mengalihkan pandangan ke luar kaca.

Dari lantai dua kafe ini, aku dapat melihat orang-orang berlarian menepi untuk berteduh.
Lihat yang diakukan orang-orang itu. Mereka sepertinya tidak menyukai keberadaan hujan.” Kau mulai beralih dari bukumu dan memperhatikan sesuatu yang berada diluar kafe itu.
Mungkin mereka ada kegiatan yang harus ditunaikan namun karena hujan kegitan itu menjadi tertunda dan mengakibatkan bajunya basah.
Aku lantas berdiri dan menggapai tanganmu, menarikmu hinga rooftop. Kau terlihat kesal karena mendadak kubawa ke atap.
Kafe ini memiliki tiga lantai, dan di lantai atasnya tidak memiliki atap. Hanya ada beberapa payung-payung kecil – yang bisa dibuka tutup sesuai keinginan, tempat berteduh. Sengaja didisain seperti itu agar kalau malam para pengunjung dapat menikmati langit yang  bertabur bintang atau hanya sekadar memandang bulan yang ditutupi awan hitam. Angkasa begitu indah ketika malam hari. Aku sangat mengenali tempat ini.
“Pejamkan matamu, nikmatilah sentuhan hujan ini. Kau akan merasakan sesuatu yang berbeda saat dia menerpa kulitmu”
“ihh, kamu apaan sih ki. Ayo turun”
“Ayolah Dimas. Kau harus merasakan sensasi dikala hujan turun, ketika ia menyentuhmu, bercumbu dengan kulitmu, menyeSap masuk hingga bagiian terdalam tubuhmu.”
“aku gabisa Kiyara. Ayolah.” Suaramu mulai terdengar bergetar. Dan bibirmu perlahan membiru.
“Sebentar lagi ya mas, plis. Aku mau menikmati hujan ini bersamamu, beberapa  menit saja.”
Dimas terlihat ingin marah kepadaku, namun melihat aku yang begitu senang, di kejauhan hanya memperhatikan. Tiba-tiba angin kencang mulai menerbangkan payung-payung yang ada. Kursi dan meja pun hampir terbang terbawa angin.
“Ki, ayolah. Kita turun, ya.” Ekspresinya mulai berubah. Ia tampak cemas.


Aku dan Dimas pertama kali bertemu di kampus. Kami satu kampus. Dia berada di Fakultas Teknik dan aku sendiri berada di Fakultas Bahasa dan Sastra. Ketika aku tengah disibukkan dengan berkas-berkas yang akan kuserahkan ke Bidang Kemahasiswaan.
Aku membawa setumpuk proposal yang telah selesai kuajukan sedangkan Dimas membawa sebuah map berwarna merah sepertinya sebuah surat.
Berkas-berkas itu telah selesai kuurus dan aku berencana ingin membawanya kembali, namun naas kakiku tersandung dan berkasku berseliweran tak karuan. Dia yang melintas didepanku dengan sigap langsung membantu.
Koridor ruangan itu cukup lengang, hanya beberapa orang saja yang terkadang lewat.
“Eh, maapin yak. Hehe. Tadi itu buru-buru.”
“Lah, kok malah minta maaf?” raut mukanya memberi kesan ramah dengan kulit putih dan mata sipitnya.
“Hm. Mau kemana?” Aku memperhatikan map yang ia bawa.
Di kampusku, ada aturan tersendiri setiap ingin menyampaikan surat pada birokrasi. Entah permohonan dana, peminjaman tempat atau bahkan surat permohonan cuti. Dan map yang dibawa Dimas tidak terlihat seperti map permohonan dana apa lagi peminjaman tempat. Map itu lebih terlihat seperti map untuk surat permohonan cuti kuliah.
“Oh, ini. Mau ngasih ke pak Weli.”
“Eh, mau cuti ya?”
“kamu baca buku sastra?”
Entah dari mana buku Anak Semua Bangsa karya Pram itu terselip ke dalam berkas-berkasku.
“Oh, buku ini. Iya. Tugas dari dosen. Berat banget. Wkwk”
“enggak kok. Bukunya cukup mudah dipahami.”
“Eh, iya?”
            Berawal dari pertemuan itu kami jadi lebih sering berkomunikasi dan bertemu.


Kami buru-buru turun. Dimas menarik tanganku. Hujan waktu itu sangat deras sekali disertai dengan angin.
“Kia, ayo cepat. Kita turun. Hujannya udah ga baik lagi ini.”
Tanganku terasa sakit sekali. Dimas menariknya dengan kuat.
Hujan dan angin itu semakin ganas saja ketika kami turun melewati tangga. Mereka lebih tepat disebut dengan badai. Perpaduan yang epic. Menghancurkan segalanya.
Dimas tiba-tiba berhenti ketika kami tiba di anak tangga ketiga. Dia melepaskan tangannya dari tanganku dan terjatuh hingga lantai dua. Aku sontak berteriak melihat dimas yang oleng dan segera berlari menujunya.


Dimas tidak terlalu menyukai hujan, namun ketika ku ajak keluar sebelum hujan ia tak menolak. Beberapa kali kami pergi keluar ketika hujan tak lain untuk menyenangkanku.
Sekarang aku tak lagi menyukai hujan. Aku teramat membenci hujan. Aku selalu teringat akan apa-apa saja yang pernah kita lakukan saat hujan. Perbincangan dikafe, pergi menemanimu membaca buku diperpustakaan yang tak seberapa jauh dari kamus kita. Berteduh di mini market sambil menyantap mi instan. Kau hanya membeli teh, aku menyeduh mie dan membeli air mineral.

Kini enam tahun telah berlalu semenjak kepergiannya waktu itu. Ketika kami tengah mengelak dari badai. Ah, badai itu tak dapat dielakkan. Ia membawamu pergi dan meninggalkanku sendiri.         
Aku melanjutkan kembali kehidupanku seperti biasa. Melakukan hal-hal yang biasa kulakukan. Namun ada yang aneh ketika aku melakukan hal-hal yang ada kaitannya denganmu. Kau terasa seperti berada di dekatku.
Aku sudah bekerja sekarang, sebagai editor buku di satu perusahaan percetakan. Aku juga membangun sebuah perpustakaan. Seperti keinginan Dimas dulu.
Ketika senggang dan tidak disibukkan dengan kata demi kata yan harus diperhatikan, aku akan mampir dan melihat-lihat. Terkadang membaca beberapa buku.
Perpustakaan ini sempurna seperti yang dimas inginkan. Dengan disain klasik dengan beberapa interiornya.
Dimas, aku bahagia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar