- Lemonade

Latest

Lemonade

Lemonade Pecandu buku(kamu)

Sabtu, 27 Februari 2021

 

Maju Mundur Kena: Sebuah Alegori dari Film Warkop DKI

Sumber gambar: Pinterest/Primayoga Ariadipa

Fakultas Ilmu Budaya (FIB) – Menanggapi pernyataan Rektor Unja pada laman jambi.tribunnews.com yang terbit pada Kamis, 16 April 2020 20:59.

Sebelum jauh, saya ingin membahas kata ‘integrasi’ yang menjadi kata kunci utama dalam permasalahan ini. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata integrasi memiliki dua arti. Yang pertama, pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. Saya tidak akan membahas arti yang kedua karena tidak ada hubungannya dengan masalah ini. Jika saya maknai sedikit wacana pengintegrasian ini, mahasiswa hanya pindah induk. Namun Pak Rektor menggunakan istilah ‘integrasi’. Maka FIB benar-benar hanya akan tinggal nama. Saya kira hanya manusia saja yang mati meninggalkan nama, rupanya fakultas pun begitu.

Kita masuk pada pernyataan pertama.

 “Tidak perubahan dalam program studi. Pengalihan ini tidak mempengaruhi gelar dan pembelajaran mahasiswa. Mahasiswa tidak akan dirugikan,” (16/4)

Pernyataan ini membawa angin segar jika memang akan dilakukan. Namun jika pengalihan ini terjadi, hal yang akan hilang bersama hilangnya FIB adalah kode mata kuliah milik FIB lengkap dengan mata kuliahnya. Seperti Pengantar Antropologi, Masyarakat dan Kebudayaan Melayu, Aksara Arab Melayu, pun akan berubah. Mata kuliah FIB ini adalah mata kuliah wajib dari fakultas yang diperoleh setiap mahasiswa dalam lingkup FIB per semesternya. Menurut saya, karena dasarnya budaya, maka sudah seharusnya mempelajari perihal budaya. Lalu dengan diintegrasikannya FIB nanti, sebagai pertimbangan “mantan prodi di FIB” yang menjadi jurusan di FKIP. Masihkah memiliki otoritas utuh sebagai rumpun keilmuan humaniora atau sedikit bergeser menjadi ‘semihumaniora’? Semisal, mata kuliah budaya ikut diintegrasikan dengan mata kuliah pendidikan. Namun kerena disiplin ilmu yang berbeda untuk rumpun keilmuan murni atau humaniora, sewajarnya tidak akan diintervensi “harus” mengenyam porsi pendidikan. Batasan ini sudah jelas sebenarnya selama dijalankan sesuai porsinya masing-masing. Mungkin dengan adanya integrasi dan ada rumpun ilmu humaniora di FKIP, maka idealnya FKIP merubah label fakultasnya, menjadi Fakultas Keguruan/Ilmu Pendidikan dan Ilmu Budaya (FKIB) atau Fakultas Pendidikan, Bahasa dan Seni (FPBS).  Logika ini yang harusnya dijadikan sebagai daya tawar jika mengadopsi FIB dalam satu fakultas.

Mungkin mata kuliah Sastra Indonesia tidak ada yang berubah. Namun bagaimana dengan mata kuliah wajib dalam lingkup FIB? Apakah mahasiswa FIB masih akan mendapatkan mata kuliah tersebut, atau mata kuliah tersebut ikut diintegrasikan karena basis fakultasnya berubah? Berdoa saja agar tidak ada hal  aneh yang terjadi. Hehe.

“Pengalihan ini tidak mempengaruhi pembelajaran mahasiswa,”

Bagaimana mahasiswa bisa tahu pernyataan tersebut akan benar penerapannya di lapangan jika pengintegrasian ini saja sudah keliru hanya karena penetapan peraturan tanpa mempertimbangkan efek yang akan ditimbulkan.

Seperti yang tertera pada berita tersebut, latar belakang dikeluarkan peraturan rektor ini ada 3, yaitu: Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 19 Tahun 2014 terkait Struktur Organisasi dan Tata Kerja (OTK) Universitas Jambi.

Dalam Peraturan menteri ini, yang menjadi permasalahan adalah fakultas yang tidak ada di dalamnya. Menurut saya wajar pada saat itu kenapa FIB belum ada di dalamnya. Karena FIB baru berumur satu tahun. Apa daya fakultas yang baru berdiri satu tahun jika tidak dibantu oleh pihak universitas? Kenyataannya, tiga tahun setelah berdiri, FIB tetap saja belum mendapat perhatian dari pihak universitas. Untuk diketahui, mahasiswa Prodi Sastra Indonesia pernah menanyakan kepada Prof. Yundi selaku dekan FIB, kenapa masih menerima dosen dengan dasar pendidikan, dan bukan yang murni?  Permasalahan saat itu ialah program studi Sastra Indonesia tidak naik akreditasnya lantaran kekurangan dosen ilmu murni. Beliau menyatakan bahwa itu bukan kewenangan beliau untuk menetapkan. Namun berbeda halnya dengan Prodi Arkeologi. Mereka mengusulkan dari bawah yang kemudian dikawal oleh dekan sehingga berhasil mendapatkan dosen yang sesuai kriteria prodi mereka. Menurut saya, karena belum ada keilmuan di Unja yang mirip dengan arkeologi sehingga mereka aman. Permasalahan tersebut menunjukkan adanya keanehan. Wilayah ini sangat abu-abu untuk saya tafsirkan lebih jauh karena memiliki kecenderungan politis. Hehehe.

Selain permasalahan tersebut, rupanya FIB merupakan tempat mutasi karyawan yang kurang layak di FKIP. Ini saya ketahui setelah berdiskusi dengan teman-teman prodi yang ada di FIB dan dibenarkan oleh dekan. Lantas bagaimana fungsi Senat yang dalam Statuta Unja tahun 2018 Paragraf 2, pasal 31, huruf b, angka 3 tentang Pelaksanaan Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi Paling Sedikit Mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Pada huruf c pasal yang sama, dikatakan bahwa Pemberian Pertimbangan dan Usul Perbaikan Proses Pembelajaran, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat kepada Rektor. Pasal ini saya kira bisa menjadi dasar. Bagaimana mungkin hal ini bisa dan dibiarkan terjadi kalau bukan karena pihak yang bersangkutan tidak peduli dengan kemajuan FIB.

Kemudian pernyataan berikutnya,

“Atas latar belakang itulah dibuat fakultas non OTK dengan menggunakan SK Rektor. Waktu itu belum ada aturan bagaimana tata cara pembentukan fakultas,”

Di sini tampak usaha rektor sebelumnya untuk mendirikan fakultas baru, namun sangat disayangkan tidak dibarengi dengan tata cara pembentukan fakultas yang baik dan benar. Bagaimana bisa pihak universitas berani mendirikan fakultas tanpa adanya aturan dan tata cara dalam pembentukannya? Lantas atas dasar apa fakultas-fakultas yang ada sekarang dibentuk?

Fakultas tersebut dibuat karena Unja mendapatkan mandat sekitar 50 prodi. Organ yang ada ini belum cukup menampung program studi yang sudah ada.

Unja mendapat mandat 50 prodi. Mandat? Dari siapa? Rupanya mandat ini dari Kemenristek Dikti, sebelum akhirnya berpindah ke Kemendikbud sekarang ini. Mandat ini tentu dengan dasar pertimbangan yang prosedural, agar mampu menjadi prodi yang terakreditasi dan fakultas yang berOTK. Artinya Kemenristek Dikti sudah ada wacana terkait pembentukan fakultas hingga menjadi fakultas yang OTK seutuhnya. Bukan begitu? 50 prodi itu banyak sekali, cuy. Bukan main-main. Karena itu muncul fakultas-fakultas baru dengan tujuan untuk bisa menampung mandat dari Menristek. Akan tetapi, dalam proses perjalanannya seperti apa, hal ini yang masih kabur. Apakah dikerjakan, apa saja yang menjadi persyaratannya, melengkapi berkasnya, hingga kesiapan SDM dan infrastrukturnya. Dalam konteks ini, hingga isu ini beredar tidak ada klarifikasi pihak dekanat baik secara terbuka, atau melalui info lain.

Ketika saya coba mengonfirmasi pada pihak dekanat terkait OTK, mereka mengatakan bahwa fakultas sudah melengkapi persyaratan ke universitas, dan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni mengatakan bahwa ditingkat universitas ada tim pengurusan OTK. Namun apakah berkas tersebut sampai ke rektor dan dikti belum ada kejelasan. Kenapa FIB tidak bisa meniru Fakultas Sains dan Teknologi yang berhasil menjadi fakultas seutuhnya? Apakah pihak fakultas tidak ingin memperjuangkan FIB dan baru mengirimkan berkas ketika akan berakhir? Hiyaa, saya hanya bisa menduga karena belum mendapat bukti otentik terkait OTK dan berakhirnya pengajuan OTK ini. Namun sejak awal berdirinya FIB pada tahun 2013 hingga sekarang, pernyataan beberapa orang dosen jelas sekali gambaran terkait hal ini. Tidak tampak kemajuan yang signifikan.

Pada dasar yang kedua yaitu Permenristek Dikti Nomor 41 Tahun 2018 terkait Statuta Unja. Permasalahannya di sini adalah pengelolaan keuangan negaraFakultas non OTK ini tidak bisa dibayarkan. Penggunaan uang negara ini berakibat kerugian dan diketahui ketika audit BPK tahun 2020. Atas dasar itu mau tidak mau harus di hentikan.

Pernyataan ini saya kira cukup menarik. Karena kami baru saja melakukan audiensi dengan pihak fakultas terkait permasalahan pembayaran dana. Prof. Yundi memberikan bukti surat yang bernomor 120/UN21/WS/2020, isinya adalah bahwa ia harus mengembalikan uang senilai kurang lebih 13 juta rupiah karena kelebihan pembayaran honorarium yang dibayarkan oleh tim pelaksana kegiatan kepada Unja.

Efek dari fakultas non OTK, berimbas pada tidak bisa menggunakan uang negara sebagaimana kasus Prof. Yundi. Secara administratif dan legal formal keuangan, OTK adalah pengakuan atau legitimasi terhadap suatu organisasi di universitas yang bisa mengakses serta menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Wajar jika terjadi pengambilan karena tidak sah atau bukan hak menggunakan dana fakultas secara formal.

Yang menjadi pertanyaan saya, kenapa bisa terjadi kelebihan pembayaran? Hal ini menjadi menarik karena memunculkan pertanyaan baru, apakah pihak fakultas menilap uang tersebut atau pihak universitas yang teledor? Tapi di dalam surat jelas dikatakan kelebihan pembayaran. Atau surat ini menggunakan makna kias? Lucu sekali. Bisa-bisanya lebih dalam membayarkan honorariam sampai 13 juta.

Sama halnya seperti pernyataan Pak Rektor pada koran Tribun Jambi.

Diintegrasikan ke Fakultas Lain Pertimbangan Kerugian Negara

Penggunaan uang negara ini berakibat kerugian. Kerugian ini diketahui berdasarkan audit BPK tahun 2020. Atas dasar itu mau tidak mau harus dihentikan.

Kerugian yang dimaksud adalah kerugian materil yang ditemukan oleh tim audit. Lantas pembayaran yang berlebih tersebut merupakan kerugian? Ya kalau rugi, kenapa dilebihkan, atuh Pak. Lalu membuat wacana untuk menggabungkan fakultas non OTK pada fakultas yang dianggap mumpuni, karena fakultas non OTK membuat negara rugi. Apakah menggabungkan adalah satu-satunya cara? Saya kira hal ini terlalu gegabah. Mestinya pihak universitas menerbitkan kiat dan prosedur untuk percepatan menuju OTK agar fakultas non OTK bisa menjadi fakultas seutuhnya.

Uraian Pak Rektor pada media daring dan luring Tribun Jambi ini memungkinkan memang mengindikasikan terjadinya sistem tata kelola yang tidak sesuai aturan sehingga menjadi kendala dalam pengelolaan keuangan di tingkat universitas.

Kabar bahwa pada tahun 2019 lalu, Menristek Dikti menerbitkan SK tentang berdirinya Universitas Muhammadiyah Jambi. Namun yang terjadi di Universitas Jambi, berbeda. Dalam Statuta Unja, peraturan yang terbit hanya membolehkan mendirikan program studi; tidak dengan fakultas. Kabar pengintegrasian ini saya kira akan menggemparkan Indonesia dan menandakan terjadinya kemunduran dalam dunia Pendidikan.

Saya selaku mahasiswa FIB, sudah mengetahui sejak lama, bahwa memang ijazah mahasiswa FIB ditandatangani oleh dekan FKIP. Itulah kenapa beberapa waktu lalu pihak mahasiswa FIB melakukan audiensi dengan pihak fakultas untuk kejelasan status OTK. Rupanya untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kabar itu akan menjadi nyata dalam waktu dekat. Namun pernyataan terakhir, memberi secercah harapan untuk mahasiswa, rektor menyampaikan akan tetap mengusulkan fakultas kepada kementrian pendidikan dan kebudayaan. Serta berharap prosesnya bisa cepat.

Rasanya kami sebagai mahasiswa jadi serba salah. Maju kena mundur kena. Terlebih mahasiswa Sastra Indonesia. Sudah jatuh, lalu ketiban tangga. Sudahlah akreditasi tidak naik, lalu fakultas akan diintegrasikan. Mahasiswa akan selalu jadi pihak yang paling banyak dirugikan. Kalau sudah begitu jangan hanya diam saja. Setidaknya peduli dengan kesusahan sesama mahasiswa. Hahaha.

Semoga wacana pengusulan tersebut diterima pak mentri dan Unja tetap maju jaya. HiyaaaFIB SELAMANYA.

Sekian.

Ipul


Link artikel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar