Beberapa tahun lalu, saya diterima masuk
kampus melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN),
atau juga sering disebut sebagai jalur undangan. Jalur ini menggunakan
nilai rapor yang diunggah oleh pihak sekolah sebagai bahan pertimbangan
seleksi. Semasa SMA, memang doa-doaku adalah agar nanti saat masuk perguruan
tinggi bisa diterima melalui jalur undangan dan tidak repot-repot lagi
mengikuti ujian dan hal-hal lain yang merepotkan jika tidak lolos. Allah
mengabulkan hal tersebut. Namun manusia, selalu saja merasa kurang dan
menginginkan lebih. Padahal Allah sudah memberikan yang terbaik. Hanya karena
program studi yang didapat tidak cukup memuaskan, saya kira. Dan memang tidak
ada yang bisa menebak bagaimana rencana Allah bagi hamba-hambanya.
Saat itu, pilihan pertamaku adalah Prodi
Teknik Industri, lalu urutan kedua yaitu Teknik Sipil Unand, dan pilihan
terakhir yaitu Sastra Indonesia Unja. Saya pikir pada saat itu saya memilih
secara sadar prodi yang ketiga ini. Karena memang prodi lain tidak begitu
membuat saya tertarik untuk memilihnya. Saya memasukkan prodi ini karena
aturannya pada saat itu harus ada satu prodi pilihan yang
berada di provinsi domisili. Waktu memilih Prodi Sastra Indonesia, aku hanya
melihat-lihat sekilas daftar jurusan tanpa berpikir panjang. Sempat mencari
beberapa informasi juga, sih, mengenai Sastra Indonesia, dan saat memilih pun
saya juga berdiskusi dengan kedua orang tua saya. Terlebih Sastra Indonesia
Unja yang waktu itu masih berakreditasi C. Jadi memang ada beberapa
pertimbangan saat memasukkan Sastra Indonesia dalam pilihan. Sadar dan tidak
sadar sebenarnya. Wkwk. Saya juga sempat berceletuk, “Ga akan lulus juga
kayanya, Pa.”
Tapi setelah aku pikir-pikir lagi, hanya
Sastra Indonesia yang tidak ada hitung-hitungannya (yang pada akhirnya saya
ketahui juga kalau tetap ada bagiannya yang berisi rumus dan hitungan). Ketika
pengumuman SNMPTN, saya sudah merasa bahwa saya akan lulus jalur ini, namun
dengan prodi yang tidak terlalu aku inginkan. Saya juga tidak mengerti kenapa
saya ngebet sekali untuk berkuliah di program studi yang
berkaitan dengan hitung-hitungan. Padahal saat SMA saya sama sekali tidak
menyukai hitung-hitungan. Soal-soal yang berkaitan dengan angka hanya akan
membuat kepala saya sakit dan panas, hingga sekarang. Sebenarnya sudah sejak
lama saya menetapkan dan memantapkan diri bahwa saya tidak ingin berkutat
dengan hitung-hitungan. Hahaha. Tapi kok ya bisa-bisanya pada saat-saat akhir
malah memilih prodi yang isinya hitung-hitungan. Zzz.
Benar saja perkiraan saya. Saya lulus
SNMPTN dengan urutan prodi ketiga, Satra Indonesia. Sejak awal saya sudah
merasa akan diterima pada prodi ini, karena dikabarkan bahwa putra daerah memiliki
potensi besar untuk diterima di universitas yang sama dengan domisili
pendaftar. Namun persentasinya adalah yang menaruh urutan kampus domisili
tersebut pada nomor pertama. Saya sempat was-was kalau-kalau saya diterima di
Unja. Namun saya meyakinkan diri bahwa Unja akan menolak saya karena saya tidak
memprioritaskannya. Iya, saya menaruh Unja pada urutan ketiga. Wkwk. Tapi
perkiraan saya saat itu salah. Unja tetap menerima saya melalui jalur undangan.
Azzz. Sempat kesal, marah, dan ga terima. Haduh. Ga ada bersyukurnya. Wkwk.
Astaghfirullah. Namun kalau diperhatikan, nilai bahasa dari kelas 1-3 SMA ga
pernah dibawah 80. Jadi ya wajar saja kalau diterima di prodi Sastra Indonesia
ini.
Oh. Dulu juga saya tidak ada keinginan
sedikit pun untuk kuliah di Unja. Bahkan saya sempat menghardik. Wkwk. Memang
sudah salah sejak dari doa yang selalu dipanjatkan, permintaan yang diinginkan,
dan perkataan yang sering diulang-ulang. Benar sekali kalau perkataan itu
adalah doa. The power of kata-kata. Bisa-bisanya
mengatakan tidak ingin kuliah di Unja. Wkwk. Nyatanya Allah malah memberi dan
menghadirkan Unja sebagai kampus dan tempat saya berproses. Hahaha. Kita
menganggap suatu hal itu tidak baik, padahal kita tidak tahu sama sekali. Allah
Maha Tahu atas segala sesuatu. Astaghfirullah.
Karena masih ga terima dengan hasil SNMPTN
tersebut, akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti Seleksi Bersama Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Jalur ini menerapkan biaya pendaftran dan
yang mendaftar harus mengikuti rangkaian ujian TPA dan sejenisnya untuk masuk
Kampus Impian. Masih belum kapok, saya memilih program studi yang masih
berkaitan dengan hitung-hitungan. Semuanya. Urutan pertama Teknik Sipil Unand,
Teknik Sipil UNP, dan Teknik Pertanian Unja. Ada-ada saja, Maemunah. Zzz.
Alhamdulillahnya, di hari yang sama, saat
ujian berkangsung, yang juga merupakan hari terakhir pendaftaran ulang
mahasiswa yang lolos SNMPTN. Wkwk. Ya, sekali mendayung dua tiga pulau
terlampauilah. Ujian SBMPTN, iya. Daftar ulang SNMPTN juga, iya. Sampai pada
hari pengumuman, yang isinya menyatakan kalo aku ga diterima. Wkakak. Akhirnya
putus asa buat ikut ujian yang lain dan memilih SNMPTN saja. Sok-sokan, sih.
Udah jelas-jelas ga pinter-pinter banget dalam perkara seleksi begini, masih
aja ngotot. Wkwk. Emang jalur Allah adalah yang paling mantep. Jalur langit,
bebas hambatan. Lurus dan plong.
Kalau diingat-ingat, lucu juga.
Banyak-banyak beristighfar karena terlalu sering takabur dengan perkataan
sendiri. Padahal Allah tidak menyukai perbuatan tersebut. Setelah kejadian itu,
saya jadi berpikir kembali jika ingin membenci dan menghardik suatu hal. Karena
bisa saja nanti Allah datangkan hal tersebut ke hadapanku. Ya Allaah. Engkau
Maha Tahu atas segalanya. Hamba berserah diri atas semua ketetapanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar